Etos Kerja Dalam Pandangan Islam

Dan katakanlah: “Bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) yang mengetahui akan yang ghaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan”. (QS. At-Taubah:105).
(Allah) yang mengetahui akan yang ghaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan”. (QS. At-Taubah:105).
Katakanlah: “Hai kaumku, berbuatlah sepenuh kemampuanmu, sesungguhnya akupun berbuat (pula). Kelak kamu akan mengetahui, siapakah (diantara kita) yang akan memperoleh hasil yang baik dari dunia ini. Sesungguhnya orang yang dzalim itu akan mendapat keberuntungan”. (QS. Al-An’am:135).

Konsep Kerja Dalam Islam
Kemuliaan seorang manusia itu bergantung kepada apa yang dilakukannya. Dengan itu, semua amalan atau pekerjaan yan gmendekatkan seseorang kepada Allah adalah sangat penting serta patut untuk diberi perhatian. Amalan atau pekerjaan yang demikian selain memperoleh keberkahan serta kesenangan dunia, juga ada yang lebih penting yaitu merupakan jalan atau tiket dalam menentukan tahap kehidupan seseorang di akhirat kelak; apakah masuk golongan ahli syurga atau sebaliknya.
Istilah ”kerja” dalam Islam bukanlah semata-mata merujuk kepada mencari rezeki untuk menghidupi diri dan keluarga dengan menghabiskan waktu siang ataupun malam, dari pagi hingga sore, terus-menerus tak kenal lelah, tetapi kerja mencangkup segala bentuk amalan atau pekerjaan yang mempunyai unsur kebaikan dan keberkahan bagi diri, keluarga, dan masyarakat sekelilingnya serta negara.
Dengan kata lain, orang yang bekerja adalah mereka yang menyumbangkan jiwa dan tenaganya untuk kebaikan diri, keluarga, masyarakat dan negara tanpa menyusahkan orang lain. Oleh karena itu, kategori ahli syurga seperti yang digambarkan dalam Al-Qur’an bukanlah orang yang mempunyai pekerjaan/jabatan yana tinggi dalam suatu perusahaan/instansi sebagai manager, direktur, teknisi dalam suatu bengkel dan sebagainya. Tetapi sebaliknya Al-Qur’an menggariskan golongan yang baik lagi beruntung (Al-Falah) itu adalah orang yang banyak takwa kepada Allah, khusyu shalatnya, baik tutur katanya, memelihara pandangan dan kemaluannya serta menunaikan tanggung jawab sosialnya seperti mengeluarkan zakat dan lainnya (QS.Al-Mu’minun:1-11).
Golongan ini mungkin terdiri dari pegawai, supir, tukang sapu ataupun seseorang yang tidak memiliki pekerjaan tetap. Sifat-sifat diataslah sebenarnya yang menjamin kebaikan dan kedudukan seseorang didunia dan diakhirat kelak. Jika membaca hadist-hadist Rasulullah SAW. tentang ciri-ciri manusia yang baik disisi Allah, maka tidak heran bahwa diantara mereka itu ada golongan yang memberi minum anjing kelaparan, mereka yang memelihara mata, telinga dan lidah dari perkara yang tidak berguna, tanpa melakukan amalan sunnah yang banyak dan seumpamanya.
Dalam satu hadist yang diriwayatkan oleh Umar r.a berbunyi: ”Bahwa setiap amal itu bergantung pada niat, dan setiap individu itu dihitung berdasarkan apa yang diniatkan…” Dalam riwayat lain, Rasulullah SAW. bersabda: ”Binasalah orang-orang Islam kecuali mereka yang berilmu”. Maka binasalah golongan berilmu, kecuali mereka yang beramal dengan ilmu mereka. Dan binasalah golongan yang beramal dengan ilmu mereka kecuali mereka yang ikhlas. Sesungguhnya golongan yang ikhlas ini juga masih dalam keadaan bahaya yang amat besar…”.
Kedua hadist diatas sudah cukup menjelaskan betapa niat yang disertai dengan keikhlasan itulah inti sebenarnya dalam kehidupan dan pekerjaan manusia. Alangkah baiknya kalau umat Islam hari ini, dapat bergerak dan bekerja dengan tekun dan mempunyai tujuan yang satu, yaitu ”mardatillah” (keridhoan Allah) itulah yang dicari dalam semua urusan. Dari situlah akan lahir nilai keberkahan yang sebenarnya dalam kehidupan yang penuh dengan curahan rahmat dan nikmat yang banyak dari Allah. Inilah golongan yang diistilahkan sebagai golongan yang tenang dalam ibadah, ridha dengan kehidupan yang ditempuh, serta optims dengan janji-janji Allah.

Kualitas Etik Kerja

            Al-Qur’an menanamkan kesadaran bahwa dengan bekerja berarti kita merealisasikan fungsi kehambaan kita kepada Allah, dan menempuh jalan menuju ridha-Nya, mengangkat harga diri, meningkatkan taraf hidup, dan memberi manfaat kepada sesama, bahkan kepada makhluk lain. Dengan tertanamnya kesadaran ini, seorang muslim atau muslimah akan berusaha mengisi setiap ruang dan waktunya hanya dengan aktivitas yang berguna. Semboyangnya adalah “tiada waktu tanpa kerja, tiada waktu tanpa amal.’  Adapun agar nilai ibadahnya tidak luntur, maka perangkat kualitas etik kerja yang Islami harus diperhatikan.
Berikut ini adalah kualitas etik kerja yang terpenting untuk dihayati.

1.  Ash-Shalah (Baik dan Bermanfaat)
Islam hanya memerintahkan atau menganjurkan pekerjaan yang baik dan bermanfaat bagi kemanusiaan, agar setiap pekerjaan mampu memberi nilai tambah dan mengangkat derajat manusia baik secara individu maupun kelompok. “Dan masing-masing orang memperoleh derajat-derajat (seimbang) dengan apa yang dikerjakannya.(al-An’am: 132)
Ini adalah pesan iman yang membawa manusia kepada orientasi nilai dan kualitas. Al Qur’an menggandengkan iman dengan amal soleh sebanyak 77 kali. Pekerjaan yang standar adalah pekerjaan yang bermanfaat bagi individu dan masyarakat, secara material dan moral-spiritual. Tolok ukurnya adalah pesan syariah yang semata-mata merupakan rahmat bagi manusia. Jika tidak diketahui adanya pesan khusus dari agama, maka seseorang harus memperhatikan pengakuan umum bahwa sesuatu itu bermanfaat, dan berkonsultasi kepada orang yang lebih tahu. Jika hal ini pun tidak dilakukan, minimal kembali kepada pertimbangan akal sehat yang didukung secara nurani yang sejuk, lebih-lebih jika dilakukan melalui media shalat meminta petunjuk (istikharah). Dengan prosedur ini, seorang muslim tidak perlu bingung atau ragu dalam memilih suatu pekerjaan.

2.  Al-Itqan (Kemantapan atau perfectness)
Kualitas kerja yang itqan atau perfect merupakan sifat pekerjaan Tuhan (baca: Rabbani), kemudian menjadi kualitas pekerjaan yang islami (an-Naml: 88). Rahmat Allah telah dijanjikan bagi setiap orang yang bekerja secara itqan, yakni mencapai standar ideal secara teknis. Untuk itu, diperlukan dukungan pengetahuan dan skill yang optimal. Dalam konteks ini, Islam mewajibkan umatnya agar terus menambah atau mengembangkan ilmunya dan tetap berlatih. Suatu keterampilan yang sudah dimiliki dapat saja hilang, akibat meninggalkan latihan, padahal manfaatnya besar untuk masyarakat. Karena itu, melepas atau menterlantarkan ketrampilan tersebut termasuk perbuatan dosa. Konsep itqan memberikan penilaian lebih terhadap hasil pekerjaan yang sedikit atau terbatas, tetapi berkualitas, daripada output yang banyak, tetapi kurang bermutu (al-Baqarah: 263).

3.  Al-Ihsan (Melakukan yang Terbaik atau Lebih Baik Lagi)
Kualitas ihsan mempunyai dua makna dan memberikan dua pesan, yaitu sebagai berikut.
Pertama, ihsan berarti ‘yang terbaik’ dari yang dapat dilakukan.
Dengan makna pertama ini, maka pengertian ihsan sama dengan ‘itqan’. Pesan yang dikandungnya ialah agar setiap muslim mempunyai komitmen terhadap dirinya untuk berbuat yang terbaik dalam segala hal yang ia kerjakan.
Kedua ihsan mempunyai makna ‘lebih baik’ dari prestasi atau kualitas pekerjaan sebelumnya. Makna ini memberi pesan peningkatan yang terus-menerus, seiring dengan bertambahnya pengetahuan, pengalaman, waktu, dan sumber daya  lainnya. Adalah suatu kerugian jika prestasi kerja hari ini menurun dari hari kemarin, sebagaimana dinyatakan dalam sebuah hadits Nabi saw. Keharusan berbuat yang lebih baik juga berlaku ketika seorang muslim membalas jasa atau kebaikan orang lain. Bahkan, idealnya ia tetap berbuat yang lebih baik, hatta ketika membalas keburukan orang lain (Fusshilat :34, dan an Naml: 125)
Semangat kerja yang ihsan ini akan dimiliki manakala seseorang bekerja dengan semangat ibadah, dan dengan kesadaran bahwa dirinya sedang dilihat oleh Allah SWT.

4.  Al-Mujahadah (Kerja Keras dan Optimal)
Dalam banyak ayatnya, Al-Qur’an meletakkan kulaitas mujahadah dalam bekerja pada konteks manfaatnya, yaitu untuk kebaikan manusia sendiri, dan agar nilai guna dari hasil kerjanya semakin bertambah. (Ali Imran: 142, al-Maidah: 35, al-Hajj: 77, al-Furqan: 25,  dan al-Ankabut: 69).
Mujahadah dalam maknanya yang luas seperti yang didefinisikan oleh Ulama adalah ”istifragh ma fil wus’i”, yakni mengerahkan segenap daya dan kemampuan yang ada dalam merealisasikan setiap pekerjaan yang baik. Dapat juga diartikan sebagai mobilisasi serta optimalisasi sumber daya. Sebab, sesungguhnya Allah SWT telah menyediakan fasilitas segala sumber daya yang diperlukan melalui hukum ‘taskhir’, yakni menundukkan seluruh isi langit dan bumi untuk manusia (Ibrahim: 32-33). Tinggal peran manusia sendiri dalam memobilisasi serta mendaya gunakannya secara optimal, dalam rangka melaksanakan apa yang Allah ridhai.
Bermujahadah atau bekerja dengan semangat jihad (ruhul jihad) menjadi kewajiban setiap muslim dalam rangka tawakkal sebelum menyerahkan (tafwidh) hasil akhirnya pada keputusan Allah (Ali Imran: 159, Hud: 133).

5.  Tanafus dan Ta’awun (Berkompetisi dan Tolong-menolong)
Al-Qur’an dalam beberapa ayatnya menyerukan persaingan dalam kualitas amal solih. Pesan persaingan ini kita dapati dalam beberapa ungkapan Qur’ani yang bersifat “amar” atau perintah. Ada perintah “fastabiqul khairat” (maka, berlomba-lombalah kamu sekalian dalam kebaikan) (al-Baqarah: 108). Begitu pula perintah “wasari’u ilaa magfirain min Rabbikum wajannah” `bersegeralah lamu sekalian menuju ampunan Rabbmu dan surga` Jalannya adalah melalui kekuatan infaq, pengendalian emosi, pemberian maaf, berbuat kebajikan, dan bersegera bertaubat kepada Allah (Ali Imran 133-135). Kita dapati pula dalam ungkapan “tanafus” untuk menjadi hamba yang gemar berbuat kebajikan, sehingga berhak mendapatkan surga, tempat segala kenikmatan (al-Muthaffifin: 22-26). Dinyatakan pula dalam konteks persaingan dan ketaqwaan, sebab yang paling mulia dalam pandangan Allah adalah insan yang paling taqwa (al Hujurat: 13). Semua ini menyuratkan dan menyiratkan etos persaingan dalam kualitas kerja.
Oleh karena dasar semangat dalam kompetisi islami adalah ketaatan kepada Allah dan ibadah serta amal shalih, maka wajah persaingan itu tidaklah seram; saling mengalahkan atau mengorbankan. Akan tetapi, untuk saling membantu (ta’awun). Dengan demikian, obyek kompetisi dan kooperasi tidak berbeda, yaitu kebaikan dalam garis horizontal dan ketaqwaan dalam garis vertikal (al-Maidah: 3), sehingga orang yang lebih banyak membantu dimungkinkan amalnya lebih banyak serta lebih baik, dan karenanya, ia mengungguli score kebajikan yang diraih saudaranya.

6.  Mencermati Nilai Waktu
Keuntungan atau pun kerugian manusia banyak ditentukan oleh sikapnya terhadap waktu. Sikap imani adalah sikap yang menghargai waktu sebagai karunia Ilahi yang wajib disyukuri. Hal ini dilakukan dengan cara mengisinya dengan amal solih, sekaligus waktu itu pun merupakan amanat yang tidak boleh disia-siakan. Sebaliknya, sikap ingkar adalah cenderung mengutuk waktu dan menyia-nyiakannya. Waktu adalah sumpah Allah dalam beberapa ayat kitab suci-Nya yang mengaitkannya dengan nasib baik atau buruk yang akan menimpa manusia, akibat tingkah lakunya sendiri. Semua macam pekerjaan ubudiyah (ibadah vertikal) telah ditentukan waktunya dan disesuaikan dengan kesibukan dalam hidup ini. Kemudian, terpulang kepada manusia itu sendiri: apakah mau melaksanakannya atau tidak.
Mengutip al-Qardhawi dalam bukunya “Qimatul waqti fil Islam”: waktu adalah hidup itu sendiri, maka jangan sekali-kali engkau sia-siakan, sedetik pun dari waktumu untuk hal-hal yang tidak berfaidah. Setiap orang akan mempertanggung jawabkan usianya yang tidak lain adalah rangkaian dari waktu. Sikap negatif terhadap waktu niscaya membawa kerugian, seperti gemar menangguhkan atau mengukur waktu, yang berarti menghilangkan kesempatan. Namun, kemudian ia mengkambing hitamkan waktu saat ia merugi, sehingga tidak punya kesempatan untuk memperbaiki kekeliruan.
Jika kita melihat mengenai kaitan waktu dan prestasi kerja, maka ada baiknya dikutip petikan surat Khalifah Umar bin Khatthab kepada Gubernur Abu Musa           al-Asy’ari ra, sebagaimana dituturkan oleh Abu Ubaid, ”Amma ba’du. Ketahuilah, sesungguhnya kekuatan itu terletak pada prestasi kerja. Oleh karena itu, janganlah engkau tangguhkan pekerjaan hari ini hingga esok, karena pekerjaanmu akan menumpuk, sehingga kamu tidak tahu lagi mana yang harus dikerjakan, dan akhirnya semua terbengkalai.” (Kitab al-Amwal, 10)

Meneladani Etos Kerja Rasulullah SAW.
Rasulullah SAW. menjadikan kerja sebagai aktualisasi dan ketakwaan. Rasul bekerja bukan untuk menumpuk kekayaan duniawi. Beliau bekerja untuk meraih keridhaan Allah SWT.
Suatu hari Rasulullah SAW. berjumpa dengan Sa’ad bin Mu’adz Al-Anshari. Ketika itu Rasul melihat tangan Sa’ad melepuh, kulitnya gosong kehitam-hitaman seperti terpanggang matahari. ”Kenapa tanganmu?” tanya Rasul kepada Sa’ad. ”Wahai Rasullullah,” jawab Sa’ad, ”Tanganku seperti ini karena aku mengolah tanah dengan cangkul itu untuk mencari nafkah keluarga yang menjadi tanggunganku”. Seketika itu beliau mengambil tangan Sa’ad dan menciumnya seraya berkata, ”Inilah tangan yang yang tidak akan pernah tersentuh api neraka”.
Dalam kisah lain disebutkan bahwa ada seseorang yang berjalan melalui tempat Rasullullah SAW. Orang tersebut sedang bekerja dengan sangat giat dan tangkas. Para sahabat kemudian bertanya: ”Wahai Rasullullah, andaikata bekerja semacam orang itu dapat digolongkan jihad fi sabillillah, maka alangkah baiknya.” Mendengar itu Rasul pun menjawab: ”Kalau ia bekerja untuk menghidupi anak-anaknya yang masih kecil, itu adalah fi sabillillah; kalau ia bekerja untuk kepentingan dirinya sendiri agar tidak meminta-minta, itu juga fi sabillillah.” (HR. Ath-Thabrani).
Bekerja adalah menginfestasikan amal shaleh. Bila kerja itu saleh, maka kerja adalah ibadah. Dan bila kerja itu ibadah, maka kehidupan manusia tidak bisa dilepaskan dari kerja. Bukankah Allah SWT. menciptakan manusia untuk beribadah kepada-Nya?
Tidak berlebihan bila keberadaan seorang manusia ditentukan oleh aktivitas kerjanya. Allah SWT. berfirman:
”Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah nasib manusia sebelum mereka mengubah apa yang ada pada dirinya. (QS. Ar-Ra’d:11).
”Dan bahwasanya seorang manusia tidak akan memperoleh selain apa yang telah diusahakannya.” (QS. Al-Najm:39).
Kisah diawal menggambarkan betapa besarnya penghargaan Rasullullah SAW. terhadap kerja. Kerja apapun itu selama tidak menyimpang dari aturan yang ditetapkan agama. Demikian besarnya penghargaan beliau, sampai-sampai dalam kisah pertama, manusia teragung ini ”rela” mencium tangan Sa’ad bin Mu’adz Al-Anshari yang melepuh lagi gosong. Rasullullah SAW.,dalam dua kisah tersebut, memberikan motivasi pada umatnya bahwa bekerja adalah perbuatan mulia dan termasuk bagian dari jihad.
Rasullullah SAW. adalah sosok yang selalu berbuat sebelum beliau memerintahkan para sahabat untuk melakukannya. Hal ini sesuai dengan tugas beliau sebagai ushwatun hasanah; teladan yang baik bagi seluruh manusia. Maka saat kita berbicara tentang etos kerja islami, maka beliaulah orang yang paling pantas menjadi rujukan. Dan berbicara tentang etos kerja Rasullullah SAW. sama artinya dengan berbicara bagaimana beliau menjalankan peran-peran dalam hidupnya. Ada lima peran penting yang diemban Rasullullah SAW. yaitu:

1.      Sebagai rasul.
Peran ini beliau jalani selama 23 tahun. Dalam kurun waktu tersebut beliau harus berdakwah menyebarkan Islam; menerima, menghapal, menyampaikan, dan menjelaskan tak kurang dari 6666 ayat Al-Qur’an; menjadi guru (pembimbing) bagi para sahabatnya; dan menjadi hakim yang memutuskan berbagai pelik permasalahan umat dari mulai pembunuhan sampai perceraian.

2.      Sebagai kepala Negara dan Pemimpin sebuah masyarakat heterogen.
Tatkala memegang posisi ini Rasullullah SAW. harus menerima kunjungan diplomatik ”negara-negara sahabat”. Rasul pun harus menata dan menciptakan sistem hukum yang mampu menyatukan kaum Muslimin, Nasrani, dan Yahudi, mengatur perekonomian, dan setumpuk masalah lainnya.

3.      Sebagai panglima perang.
Selama hidup tak kurang dari 28 kali Rasul memimpin pertempuran melawan kafir Quraisy. Sebagai panglima perang, beliau harus mengorganisasi dari 53 pasukan kaveleri bersenjata. Harus memikirkan strategi perang, persediaan logistik, keamanan, transportasi, kesehatan, dan lainnya.

4.      Sebagai kepala rumah tangga.
Dalam posisi ini Rasul harus mendidik, membahagiakan, dan memenuhi tanggung jawab lahir batin terhadap para istri beliau, tujuh anak, dan beberapa orang cucu. Beliau dikenal sebagai sosok yang sangat perhatian terhadap keluarganya. Ditengah kesibukannya Rasul pun masih sempat bercanda dan menjahit sendiri bajunya.

5.      Sebagai seorang pebisnis.
Sejak usia 12 tahun pamannya Abu thalib sudah mengajaknya melakukan perjalanan bisnis ke Syam, negeri yang saat ini meliputi Syiria, Jordan, Lebanon. Dari usia 17 hingga sekitar 20 tahun adalah masa tersulit dalam perjalanan bisnis Rasul karena beliau harus mandiri dan bersaing dengan pemain-pemain senior dalam perdagangan regional. Usia 20 hingga 25 tahun merupakan titik keemasan entrepreneurship Rasullullah SAW. terbukti dengan ”terpikatnya” konglomerat Mekkah, Khadizah binti Khuwailid, yang kemudian melamarnya menjadi suami. Afzalurrahmah dalam bukunya, Muhammad Sebagai Seorang Pedagang (2000:5-12), mencatat bahwa Rasul pun sering terlibat dalam perjalanan bisnis ke berbagai negeri Yaman, Oman, dan Bahrain. Dan beliau mulai mengurangi kegiatan bisnisnya ketika mencapai usia 37 tahun.
Adalah kenyataan bila Rasullullah SAW. mampu menjalankan kelima perannya tersebut dengan sempurna, bahkan menjadi yang terbaik. Tak heran bila para ilmuan, baik itu yang muslim maupun non-muslim, menempatkan beliau sebagai orang yang paling berpengaruh, paling pemberani, paling bijaksana, paling bermoral, dan sejumlah paling lainnya.

Apa rahasia kesuksesan karier dan pekerjaan Rasullullah SAW.?
1.      Rasul selalu bekerja dengan cara yang terbaik, professional, dan tak asal-asala. Beliau bersabda: ”Sesungguhnya Allah menginginkan jika salah seorang darimu bekerja, maka hendaklah meningkatkan kualitasnya”.
2.      Dalam bekerja Rasullullah SAW. melakukannya dengan menejemen yang baik, perencanaan yang jelas, pentahapan aksi, dan adanya penetapan skala prioritas.
3.      Rasul tidak pernah menyia-nyiakan kesempatan sekecil apapun. ”Barang siapa yang dibukakan pintu kebaikan, hendaknya dia mampu memanfaatkannya, karena ia tahu kapan ditutupkan kepadanya,” demikian sabda beliau.
4.      Dalam bekerja, Rasul selalu memperhitungkan masa depan. Beliau adalah sosok yang visioner, sehingga segala aktivitasnya benar-benar terarah dan terfokus.
5.      Rasul tidak pernah menangguhkan pekerjaan. Beliau bekerja secara tuntas dan berkualitas.
6.      Rasul bekerja secara berjamaah dengan mempersiapkan (membentuk) tim yang solid yang percaya pada cita-cita bersama.
7.      Rasul adalah pribadi yang sangat menghargai waktu. Tidak berlalu sedikitpun waktu, kecuali menjadi nilai tambah bagi diri dan umtnya. Dan yang terakhir, Rasullullah SAW. menjadika kerja sebagai aktualisasi keimanan dan ketakwaan. Rasul bekerja bukan untuk menumpuk kekayaan duniawi. Beliau bekerja untuk meraih keridhoan Allah SWT. Inilah kunci terpenting.

Daftar Pustaka

1.      Dikutip dari Kajian Islam Institut Pertanian Bogor.
3.      Al-Qur’an dan Terjemahannya
4.      Akhlak Nabi Muhammad SAW (Keluhuran Dan Kemuliannya), Ahmad Muhammad Al-Hufy
5.      Konsep Kerja dalam Islam, Dr. Asyraf Hj Ab Rahman
6.      [Ar-Royyan-3465] Meneladani Etos Kerja Rasullullah SAW., Agus Rasidi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar